Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas, Disabilitas merupakan sebuah istilah yang dibahasakan bagi penyandang cacat atau orang orang yang memiliki kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu dan bahkan menjadi hambatan bagi mereka untuk melakukan sesuatu secara layak.
Adapun beberapa pandangan Islam tentang orang cacat yang telah disampaikan melalui Al Quran, Hadis dan pendapat para ulama. Berikut beberapa diantaranya
1. An-Nur ayat 61:
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ … (النور: 61)
Artinya, “Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian …” (Surat An-Nur ayat 61).
Pada ayat ini seakan mengajarkan kita untuk tidak membeda bedakan orang cacat dengan orang normal pada umumnya, sebab dalam Islam Allah SWT tidak pernah memandang umatnya dari derajat, kecantikan, bahkan dari harta yang dimilikinya.
Mereka harus diterima sama dengan orang lain pada umumnya tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial, sebagaimana penjelasan Syekh Ali As-Shabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam (I/406):
يَقُولُ الله جَلَّ ذِكْرُهُ مَا مَعْنَاهُ: لَيْسَ عَلَى أَهْلِ الْأَعْذَارِ وَلَا عَلَى ذَوِي الْعَاهَاتِ (الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْمَرِيضِ) حَرَجٌ أَنْ يَأْكُلُوا مَعَ الْأَصِحَّاءِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى يَكْرَهُ الكِبْرَ وَالْمُتَكَبِّرِينَ وَيُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ التَّوَاضُعَ.
Artinya, “Substansi firman Allah Ta’ala (Surat An-Nur ayat 61) adalah bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya uzur dan keterbatasan (tunanetra, pincang, sakit) untuk makan bersama orang-orang yang sehat (normal), sebab Allah Ta’ala membenci kesombongan dan orang-orang sombong dan menyukai kerendahhatian dari para hamba-Nya.”
2. Hadits Abu Dawud
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ الرَّجُلَ لَيَكُونَ لَهُ الدَّرَجَةُ عِنْدَ اللهِ لَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ حَتَّى يُبْتَلَى بِبَلَاءٍ فِي جِسْمِهِ فَيَبْلُغَهَا بِذَلِكَ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh seseorang niscaya punya suatu derajat di sisi Allah yang tidak akan dicapainya dengan amal, sampai ia diuji dengan cobaan di badannya, lalu dengan ujian itu ia mencapai derajat tersebut,’” (HR Abu Dawud). Hadits ini memberi pemahaman bahwa di balik keterbatasan fisik (disabilitas) terdapat derajat yang mulia di sisi Allah ta’ala.
3. Pendapat Imam Al-Qurthubi
وَلَا بَأْسَ بِإِمَامَةِ الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْأَشَلِّ وَالْأَقْطَعِ وَالْخَصِيِّ وَالْعَبْدِ إِذَا كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَ عَالِمًا بِالصَّلَاةِ.
Artinya “Tunanetra, orang pincang, orang lumpuh, orang yang terputus tangannya, orang yang dikebiri, dan hamba sahaya tidak mengapa menjadi imam shalat bila masing-masing dari mereka mengetahui tatacara shalat.”
4. Pendapat Imam Ar-Ramli As-Shaghir
وَاشْتِرَاطُ الْعَبَّادِيِّ الْبَصَرَ فِيهِ مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ لَا فِطْنَةَ مَعَهُ وَإِلَّا فَكَثِيرٌ مِنْ الْعُمْيَانِ أَعْرَفُ بِالْأُمُورِ وَأَدْفَعُ لِلتُّهَمِ وَالرِّيَبِ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْبُصَرَاءِ
Artinya, “Pengajuan syarat mampu melihat bagi mahram yang menemani wanita saat berpergian oleh Al-‘Abbadi diarahkan dalam konteks orang yang tidak mempunyai kecakapan. Di luar konteks itu, maka banyak tunanetra yang lebih mengetahui berbagai permasalahan dan lebih mampu menolak kesalahpahaman dan praduga daripada orang-orang yang bisa melihat.”